Widget

Minggu, 25 Desember 2011

karat biduk tertambat

''jadikan harapan sebentuk rindu, walau hanya dengan setitik pijar gemintang yang bertamu di antara jemari kita''

ketika penyeberangan takdir seijin waktu, seorang perempuan menyusuri bibir senja
Luas samudera adalah agenda biru mimpinya yang diwakilkan jajar bianglala,
menyayat lumut ingatan hingga ranggas larik hening mengasingkannya ke episode kenangan



''ibu, angin mei berhembus, tak berwarna menjunjung titah
wasilah akad suci telah tertunaikan,
maka akan kularung biduk di corona sang surya,
pun ku kan menjoran purnama sebagai dermaga walimah''

bersama Tuhan yang menyembunyikan hunian asa manusia,
dilukisnya dua kupukupu kecil yang tersenyum mengepakkan kedua sayapnya di atas bunga matahari,
berlayar cakrawala

belum genap separuh langkah,
malam lebih cepat menjemput siang yang tak tegar menghadapi perubahan iklim hingga cincin emas di jari manis tercampak serupa jangkar

curah gerimis di tengah raungan ombak terabaikan
nakhoda meninggalkan kemudi demi menyaksikan mawar yang mengambang, mencipta ketiadaannya di mihrab imam,
Tuhan hanya mampu mengamati

''ibu, ini potongan asmara yang karat di antara mimpi berpulang,
tapi mengapa jawaban menjelma tanya
mungkin aku mengingkari mega,
yang deras atau pun gerimis adalah hujan yang aku kenal karena kumparannya

seorang perempuan di bibir senja, membenam jiwa dalam genggaman Tuhan
meletakkan cahaya lembayung di pipi sembari membuka pintu dengan senyuman meski harus menutup pintu yang lain,
menggarami lautan di tiap sujud terakhir

sementara di ufuk,lazuardi menggambar diri dipecah butir air yang mengkristal,
sekali duduk menganyam sejarah agung air mata perempuan kemudian beranjak menyampaikan pesan,
hari ini keabadian di dalam diri adalah kesadaran,
kemarin musim kenangan dan esok sebagai kerinduan

Posting Komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar