bertahun lamunan menjumpaimu, pun kini
di ribaan malam tua dengan rembulan di keningku
engkau tahu tubuh surga yang kujelma?
adalah dirimu di hamparan musim
jenak menggugurkan rindu
tersemat, durja sunyi membilang labirin waktu
dalam bincang yang meluruh aksara jiwamu
susur kata berdesir anggun
mencumbui pijar najam di balik dada kita
meminta Tuhan menyimpan surga
simak tilas rindu yang terangkai cercah awan
diam-diam mengarca tepian malam
sebagai pewarta risalah hati, ia kudiami
menghantar doa di tangkup pagi yang memanjakan
(kolab. Joe-Sekar)
Sabtu, 11 Agustus 2012
Kamis, 19 Juli 2012
kidung senja
ini senja
dengan magenta persembahan langit
meriak di cawan renjana
dalam bilangan penantian
; lanur bernisan waktu
di sini
meski angin tak selalu berhembus
dan bintang berkedip sebatas janji terpinjam
namun kidung doa dari telaga hatimu
menjadi rindu yang kerap mencumbui fajar
dengan magenta persembahan langit
meriak di cawan renjana
dalam bilangan penantian
; lanur bernisan waktu
di sini
meski angin tak selalu berhembus
dan bintang berkedip sebatas janji terpinjam
namun kidung doa dari telaga hatimu
menjadi rindu yang kerap mencumbui fajar
Rabu, 27 Juni 2012
asa senja
kembali hening mewartakan lisan
meronce tiap detak jantung
bertikai mimpi dan kenyataan
maukah engkau menjadi kekasihku
merangkul rindu yang terpenjara
berlatar asa yang terkremasi
katakanlah
tak hanya sebagai siru angin
yang mengejawantah di dingin bibir bebatuan yang terjamu malam
bahwa engkau menitip pesan di sisa senja
meronce tiap detak jantung
bertikai mimpi dan kenyataan
maukah engkau menjadi kekasihku
merangkul rindu yang terpenjara
berlatar asa yang terkremasi
katakanlah
tak hanya sebagai siru angin
yang mengejawantah di dingin bibir bebatuan yang terjamu malam
bahwa engkau menitip pesan di sisa senja
saujana di hilir pawana
saujana di hilir pawana
menyapu sudut cakrawala
derap prahara di lawang senja
bersabung kisi renjana
luka adalah senyum dikulum
berdiri pada batas suka dan duka
melumat cinta hingga terkapar
dengan karangan bunga berpita hitam
maafkan aku
yang diam bermain di tangkai curah hujan
mendampar tanya berkaca meninggalkanmu
lalu kembali setelah rambutku mengering
menyapu sudut cakrawala
derap prahara di lawang senja
bersabung kisi renjana
luka adalah senyum dikulum
berdiri pada batas suka dan duka
melumat cinta hingga terkapar
dengan karangan bunga berpita hitam
maafkan aku
yang diam bermain di tangkai curah hujan
mendampar tanya berkaca meninggalkanmu
lalu kembali setelah rambutku mengering
gelisah damai
kupinang kaki langit sebagai catatan harian
mengagendakan ribuan kata
menganak sungai dari puncak dada
buih gelombang lara
; melaut gelisah
berhamburan memuara
semilir pawana berlagu di sayup senja
bertikai anak daun meritus syair alam
memuja sang penguasa diantara tarian bumi
; merindukan kedamaian
mengagendakan ribuan kata
menganak sungai dari puncak dada
buih gelombang lara
; melaut gelisah
berhamburan memuara
semilir pawana berlagu di sayup senja
bertikai anak daun meritus syair alam
memuja sang penguasa diantara tarian bumi
; merindukan kedamaian
tentang nopember
nopember tetaplah sederhana
bahkan tanpa sajak kecil dalam diriku
adalah engkau yang membaca sunyi
dengan isyarat hatiku selembar daun
hujan menjadikannya gugur
sebagai esok engkau mencintai pagi
meluruh malam dalam ketiadaan
tentang keterjagaan gadis kecil di hutan kelabu
ketika jari jari bunga mulai terbuka
bahkan tanpa sajak kecil dalam diriku
adalah engkau yang membaca sunyi
dengan isyarat hatiku selembar daun
hujan menjadikannya gugur
sebagai esok engkau mencintai pagi
meluruh malam dalam ketiadaan
tentang keterjagaan gadis kecil di hutan kelabu
ketika jari jari bunga mulai terbuka
Selasa, 26 Juni 2012
sisi kenang
Senin, 18 Juni 2012
senja bertilam di mana
ini hening yang manja
berujar di pualam mata
bersama genang relief hujan
kekaburan berkaca
meriap sulam tanya
senja bertilam di mana
seperti menggantung bulan di kelambu
hangat napas sangkar rusuk
melipat malam di keningmu
demi kuntuman matahari
bukan tidak ada najam terpinjam
merah jambu hati gairahnya membuih
dari lembar terlusuh
pena meladung
ketiadaan di ujung kisah tak mampu kurangkai.
berujar di pualam mata
bersama genang relief hujan
kekaburan berkaca
meriap sulam tanya
senja bertilam di mana
seperti menggantung bulan di kelambu
hangat napas sangkar rusuk
melipat malam di keningmu
demi kuntuman matahari
bukan tidak ada najam terpinjam
merah jambu hati gairahnya membuih
dari lembar terlusuh
pena meladung
ketiadaan di ujung kisah tak mampu kurangkai.
ketika hari akan kelam

bila dentang penghabisan bertahun dihuni
kemana malam menyimpan selaksa duka
kucurkan wangi aroma rembulan
ketika hari akan kelam
dan aku makin tenggelam
di tempat tetirah kaum gelisah
manakala kuntum kutabur
batas daratan sunyi biarlah mengelopak renungan
karena lahirnya kerinduan yang mengatup mata nun usia di atas lilin
sungguh Tuhan lah yang putih
kemana pembaringan

tutuplah jendela yang mengekalkan malam
sebab gerimis pada sebuah pandang
adalah luruhnya cakrawala di matamu
tahukah engkau ?
sempurnanya pelayaran yang terdampar
akan meriwayat jalan pulang
seberapa ombak bersembunyi di kaki langit
tiada letih buih mengabari pantai
maka yang tak tergenggam itulah sesal
di timur jua mengurai senyum
yang hilang memberi alamat
risalah barat, wahai kemana pembaringan
Jumat, 15 Juni 2012
masa
senja melabuh

turun mengecupi pelupuk musim
di sana sepertiku
seri hujan adalah dahan puisi berguguran
dari ujung jalan yang kuanggap ada
bunga dan daun bertukar warna
segara pecah menjelma bayang
harapan tiada berdiri sendiri
jiwa itu berpulang muasal
mengarak rangkuman kisah yang belum usai
ketika aku, kamu, dengan mimpi
mengagungkan esok sebagai kerinduan
Kamis, 14 Juni 2012
yang berdiam diri

kujabarkan paras terindah darimu
serupa kuteguk madu sayatan rintih malam
ia menjelma jambangan tetes air mata
patah rasanya
berhambur di padang gersang tanpa bahagiamu
ku semai do’a tersisip
pintaku tak berlebih
bahwa cinta ini teryakini dengan abadi
sudah di dalam sembilu sanubariku
mei dengan wajahMu

dari bening rasa sesudah hujan
terlanjur gugur di ribaan pagi
masihkah ia meranah sabana dengan rumpun pepohonan yang saga atas namaku ?
sedemikian sabda akan pengasingan diri merabuni sabitah langit jiwa
sementara hymne tiada henti bersiru menjamu serenada securah kala
belum lekang genang musim sebelumnya
menunggui asap dari bara yang tertuang ke dalam tungku kerinduan
menghantar harum bayang bersangkar rusuk catatan tepi
mengendap di ceruk mimpi, dibesarkan tawa dan air mata
kini waktu memukulkan detik
pun angin barat kian memburu malam demi malam
dalam peta pigura hujan yang menampar jalan itu
langkah langkah rubuh bergetar lidah keluh
dan sesayup simfoni semarak basah
berkeping perca mengkristal menuliskan kisah di dahan pepohonan
tentang tanya selembar daun kuning
kapan ia akan gugur ke bumi
mei dengan wajah-Mu yang subuh
wanita cantik

saat kau menyisir rambutnya
julai mayang seperti nyawa
menghidupkan nyawa di batang raga
wanita cantik
dengan bedah antara sisi alam
jadam segenap rahasia sahaja
mengharum cendana senyum kencana
mantra ribaan pagi segala sajak
wanita cantik
bersuluh lilin di jendela
menjahit hujan kelir bulan
fana jua sekalian yang ada
di atas lampin sembahyang
wanita cantik
terhening di senja hati
bertangkai musim curah cinta
sebening hari tenang suci
nampaknya curai matahari
wanita cantik adalah sebuah keajaiban
saat kau menyisir rambutnya
lenyap jua ihwal insan paras bumi
penyampaian berita surga tubuhnya kemudian
wanita cantik
adakah itu kau ?
menjelma ibu
rumah mimpi

malam tak pernah luput dari kelopak mata
kendati seiris bulan bercermin di telaga
menjadi harapan orang tidur menggoreskan jemari di atas kaca
wahai diri
akankah lena kan berpesan sendiri
bermenung mengeja dinding laju hujan sebagai himne matahari
jika yang permulaan menyimpan warna langit hanyalah mimpi
seganda musim dalam sebuah mukim
sebagaimana persinggahan para najam
terbit memahat mahkota rindu berarca senyum
papasan parade selaksa balutan hitam
karena yang datang dan yang pergi menghuni kenyataan
dan sempurnanya wajah terpasung di pekarangan
maka jambangan setiap harapan menaruh keyakinan
sungguh yang membangun rumah mimpi adalah Tuhan