Widget

Rabu, 27 Juni 2012

asa senja

kembali hening mewartakan lisan
meronce tiap detak jantung
bertikai mimpi dan kenyataan

maukah engkau menjadi kekasihku
merangkul rindu yang terpenjara
berlatar asa yang terkremasi

katakanlah
tak hanya sebagai siru angin
yang mengejawantah di dingin bibir bebatuan yang terjamu malam
bahwa engkau menitip pesan di sisa senja

saujana di hilir pawana

saujana di hilir pawana
menyapu sudut cakrawala
derap prahara di lawang senja
bersabung kisi renjana

luka adalah senyum dikulum
berdiri pada batas suka dan duka
melumat cinta hingga terkapar
dengan karangan bunga berpita hitam

maafkan aku
yang diam bermain di tangkai curah hujan
mendampar tanya berkaca meninggalkanmu
lalu kembali setelah rambutku mengering

gelisah damai

kupinang kaki langit sebagai catatan harian
mengagendakan ribuan kata
menganak sungai dari puncak dada
buih gelombang lara
; melaut gelisah

berhamburan memuara
semilir pawana berlagu di sayup senja
bertikai anak daun meritus syair alam
memuja sang penguasa diantara tarian bumi
; merindukan kedamaian

tentang nopember

nopember tetaplah sederhana

bahkan tanpa sajak kecil dalam diriku
adalah engkau yang membaca sunyi

dengan isyarat hatiku selembar daun
hujan menjadikannya gugur

sebagai esok engkau mencintai pagi
meluruh malam dalam ketiadaan

tentang keterjagaan gadis kecil di hutan kelabu
ketika jari jari bunga mulai terbuka

Selasa, 26 Juni 2012

sisi kenang


kita bersisian diwaktu yang lain
ketika angin berhenti pada daun
ketika burung enggan bersenandung

setiap jasad menyimpan cerita
berkhotbah dalam diam
merangkum kenangan

nyawa kisah
itulah misteri
yang mungkin tak sempat untuk mati

Senin, 18 Juni 2012

senja bertilam di mana

ini hening yang manja
berujar di pualam mata
bersama genang relief hujan

kekaburan berkaca
meriap sulam tanya
senja bertilam di mana

seperti menggantung bulan di kelambu
hangat napas sangkar rusuk
melipat malam di keningmu

demi kuntuman matahari
bukan tidak ada najam terpinjam
merah jambu hati gairahnya membuih

dari lembar terlusuh
pena meladung
ketiadaan di ujung kisah tak mampu kurangkai.

ketika hari akan kelam

beri daku bunga tanah kelahiran
bila dentang penghabisan bertahun dihuni
kemana malam menyimpan selaksa duka

kucurkan wangi aroma rembulan
ketika hari akan kelam
dan aku makin tenggelam
di tempat tetirah kaum gelisah

manakala kuntum kutabur
batas daratan sunyi biarlah mengelopak renungan
karena lahirnya kerinduan yang mengatup mata nun usia di atas lilin
sungguh Tuhan lah yang putih

kemana pembaringan

kendati benah senja mengeja bayang
tutuplah jendela yang mengekalkan malam
sebab gerimis pada sebuah pandang
adalah luruhnya cakrawala di matamu

tahukah engkau ?
sempurnanya pelayaran yang terdampar
akan meriwayat jalan pulang

seberapa ombak bersembunyi di kaki langit
tiada letih buih mengabari pantai

maka yang tak tergenggam itulah sesal
di timur jua mengurai senyum
yang hilang memberi alamat
risalah barat, wahai kemana pembaringan

Jumat, 15 Juni 2012

masa

masa,
dengan sederet noktah tanpa koma
meniti tegas di keningmu

kembali
menghantar wacana kerai senja
bertema obituari sebuah rasa

kisah itu bernisan kenang
dituliskan di tepi malam tua
mengelabang luka rembulan
berkiblat semusim gerhana


biarkan
ia memukim semayam waktu
itu lara yang berpulang

senja melabuh

senja melabuh senyap
turun mengecupi pelupuk musim
di sana sepertiku
seri hujan adalah dahan puisi berguguran

dari ujung jalan yang kuanggap ada
bunga dan daun bertukar warna
segara pecah menjelma bayang
harapan tiada berdiri sendiri

jiwa itu berpulang muasal
mengarak rangkuman kisah yang belum usai
ketika aku, kamu, dengan mimpi
mengagungkan esok sebagai kerinduan

Kamis, 14 Juni 2012

yang berdiam diri

dari endapan sepi sepi
kujabarkan paras terindah darimu

serupa kuteguk madu sayatan rintih malam
ia menjelma jambangan tetes air mata

patah  rasanya
berhambur di padang gersang tanpa bahagiamu

ku semai do’a tersisip
pintaku tak berlebih

bahwa cinta ini teryakini dengan abadi
sudah di dalam sembilu sanubariku

mei dengan wajahMu

lalu tentang belantara kasih membumi
dari bening rasa sesudah hujan
terlanjur gugur di ribaan pagi
masihkah ia meranah sabana dengan rumpun pepohonan yang saga atas namaku ?
sedemikian sabda akan pengasingan diri merabuni sabitah langit jiwa
sementara hymne tiada henti bersiru menjamu serenada securah kala

belum lekang genang musim sebelumnya
menunggui asap dari bara yang tertuang ke dalam tungku kerinduan
menghantar harum bayang bersangkar rusuk catatan tepi
mengendap di ceruk mimpi, dibesarkan tawa dan air mata

kini waktu memukulkan detik
pun angin barat kian memburu malam demi malam
dalam peta pigura hujan yang menampar jalan itu
langkah langkah rubuh bergetar lidah keluh

dan sesayup simfoni semarak basah
berkeping perca mengkristal menuliskan kisah di dahan pepohonan
tentang tanya selembar daun kuning
kapan ia akan gugur ke bumi

mei dengan wajah-Mu yang  subuh

wanita cantik

wanita cantik adalah sebuah keajaiban
saat kau menyisir rambutnya
julai mayang seperti nyawa
menghidupkan nyawa di batang raga

wanita cantik
dengan bedah antara sisi alam
jadam segenap rahasia sahaja
mengharum cendana senyum kencana
mantra ribaan pagi segala sajak

wanita cantik
bersuluh lilin di jendela
menjahit hujan kelir bulan
fana jua sekalian yang ada
di atas lampin sembahyang

wanita cantik
terhening di senja hati
bertangkai musim curah cinta
sebening hari tenang suci
nampaknya curai matahari

wanita cantik adalah sebuah keajaiban
saat kau menyisir rambutnya
lenyap jua ihwal insan paras bumi
penyampaian berita surga tubuhnya kemudian

wanita cantik
adakah itu kau ?
menjelma ibu

rumah mimpi

dimana waktu kan berkata
malam tak pernah luput dari kelopak mata
kendati seiris bulan bercermin di telaga
menjadi harapan orang tidur menggoreskan jemari di atas kaca

wahai diri
akankah lena kan berpesan sendiri
bermenung mengeja dinding laju hujan sebagai himne matahari
jika yang permulaan menyimpan warna langit hanyalah mimpi

seganda musim dalam sebuah mukim
sebagaimana persinggahan para najam
terbit memahat mahkota rindu berarca senyum
papasan parade selaksa balutan hitam

karena yang datang dan yang pergi menghuni kenyataan
dan sempurnanya wajah terpasung di pekarangan
maka jambangan setiap harapan menaruh keyakinan
sungguh yang membangun rumah mimpi adalah Tuhan