Widget

Rabu, 27 Februari 2013

lingkaran retak



lagi kian menjadi
romance perjalanan dengan sebuah lorong di kotaku

hujan panas dan robohnya surau tamu malam adalah wajah wajah yang berubah dalam lingkaran lingkaran retak

dua episode catatan kertas merah jambu bersajak helai helai sakura gugur
bumi berpeluh dan malam jahanam menjelma pengantin tanpa nama

engkau tahu, aku tlah menggurat tegas rembulan di keningmu
lahir sebagai badai yang menitip mentari di ujung rambutmu

bicara esok



''kamu masih sayang aku ?''
itu adalah pertanyaan kesekian darimu yang jawabannnya aku kais dari renik air yang tertawan di langit

bicara tentang ''esok'', itu hiasan pagiku

hingga kini aku masih merentangkan kedua tangan dengan jari jari terbuka,
berharap suatu saat nanti ada jemari yang kan melengkapi sela sela jemariku

berdosakah diri ?



telanjang segugus aksara terjamah, luruh
larut dalam keheningan tetes hujan yang pecah mengkristal

sebagai pagi yang bermusim di matamu
diamdiam aku kerap mengkremasi malam
yang kau cipta

kita tlah melukis asa di dinding dinding ibu berhala
menyaksikan mimpi berpulang di tengah ritus doa doa beterbangan

lalu berdosakah diri
menisankan rindu serapuh dahan nan keroposan
yang akhirnya kan patah
terhempas gemeretak ?

kita masih di sini



di sana, di balik jeruji waktu
engkau merangkai kembang di atas pusara pusara musim,
oleh pudar yang menggugat jelmaan selangit mimpi
tanpa pengingkaran wangi doa yang ditafsirkan sebagai bintang

akankah mendung mewakili buncah rasa pecinta yang terbakar
pada batas dimana sukma tanpa wajah meletih ?
; tepian yang samar samar kuikuti

mungkin esok, hujan itu datang lagi
bersama daun daun yang gugur di ujung cakrawala
sementara kita masih di sini

tetirah hadirmu



lalu engkau membelah jantung hujan
pada patahnya detik waktu
berparade gerimis rindu
memapas paparan arah angin

masih kutunggui air yang menghambur kecil dari mayang rambutmu
menjelma sebagai api yang mengecupi malam gelisah
meragamkan ragawi terantai suratan
ketika bayang bertirai kesunyian
; tetirah hadirmu

bernafas dalam lumpur



kembali hening ini mewartakan lisannya
meronce tiap detak jantungku yang bertikai mimpi dan kenyataan

rembulan menitip birahi di tangkai malam
memantul legam mata sehelat kelam kita; jadikan surga

tak hendak kukremasi rasa di tungku asa
namun latar yang gelisah tereja sebagai rindu

ingin kukabarkan padamu wahai senja belantara
aku sungsang diantara api dan air
bernafas dalam lumpur

penanda



rembih perih itu tlah merepih bulan
menjadi jambangan pagi yang kau rangkai dari ronce ronce doa
melamur nisan mimpi di antara tarian takdir

sungguh,
waktu kan mengilhami kedewasaan hatimu
; bersabarlah