cabik
aku, hanya mengais risalah yang kerap berlari terlecuti angin dari para penunggunya,
sekilas khilaf menutur kubangan lumpur di ladang swarga cinta keinsanan,
yang memecah rapuh rujiruji kerangka langit, legam berduka mengecam demi menyaksikan kiamat tanpa kebangkitan ruh.
ini bukan hukuman, mungkin karma hanya akan memenjarakan diri di kamar sendiri.
pada episode lain, ia buang mimpi yang pulang, menjumpai lamunan di kota kenangan setahta palsu yang membusuk, berbayang wajah seribu rupa meragut kalbu, menagih janji lafaz waktu di kesesatan sepi dalam kajian aksara puisi lelaki pujaan, yang memasung rasa pada sarang musimnya.
namun siang seolah terhenti, diamdiam kekasih merahimkan benih ibu berhala, merenggut kesucian bumi, menodai simbol semesta, menelanjangi cinta tanpa Tuhan, lalu tersenyum menguliti ejaan matahari di balik sangkar dosa yang mencabik niat teragung, dalam ritual fatwa setan bertumbal manis perawan.
ketika indah harapan bernisan takdir dan dunia terlihat bagai sebutir pasir,
maka kematian bukanlah jalan untuk menahan nafas kehidupan.
setelah mengarang duka kisah terlarang, belalang pergi mencari hijau.
kini, mawar asuhan rembulan lunglai mengering tercampak di tanah gersang, coba menjoran purnama jadikan lentera dalam susur lorong tak menghulu berjejak rayapan semut hitam di malam gulita,
tertawan gerimis besi, kaca dan pawaka diperjamuan tumpulnya mata.
tak usah mencari dimana campur tangan Tuhan, jalan itu sudah ditandai.
kemanisan waktu kan berbelasungkawa dikebebasan pejaman mimpi, hingga dataran segara bercermin mentari, menatanya di jendela pagi yang berdoa sebagai hamba dari air mata paling suci, taubat.
Posting Komentar