sesaat, aku meretina renik hujan di sebelah dinding resah, gugur berdayang anak angin, meningkahi liuk tarian dahandahan, lalu menahta ranum mutiara langit di pucukpucuk daun.
; berpuri tumpulnya mata
kuretas lajunya yang menghantarku asing pada semarak bilahbilah tangis tanah, tersaput awan hitam sehelat cetusan tengadah tangantangan sedih berapal mantra belantara kering
; pecah di mukimnya
duhai angin bersiru,hendak kemana kau risalahkan indah ayatayat hujan ?
sementara ia kudiami sebagai petirahan genangan rasa, memahat arca arca silam nisan kenangan, diterjemahkan para penunggunya yang kerap bersyair di paritparit lalu menuliskannya dikulit bebatuan
; atau sekedar lawalata guratan pada urat daun serupa ruam sayap kupukupu
tanya terhenti, berhenti bertanya tanya
menyimakmu adalah selayak mengkremasi musim sedemikian, dengan segugus persembahan siang dan malam yang menikahi bumi di pelaminan waktu,
merangkum cerita yang tak pernah tenggelam di hening padang gelagah, pun menetaskan kisah selafal dongeng puteri hujan yang tercuri setangkai bunga rumput, mencari patahan bayangnya pada sebatang tali air
; memetakan malis rupa wajah di hamparan pualam sajadah kaca.
ah..., sudahlah, inginku terusik enggan,
menutur teduh hujan bungsu yang telah terpinang lukisan berselempang lentera
Posting Komentar