Aku hanyalah pungguk
yang menukik dengan kuku-kuku tajam mencengkeram reranting pohon pemakaman tempatku mengintai mangsa ketika renang sang surya tenggelam di kaki langit
Berulang episode tersaji, tlah kusaksikan kedipan-kedipan gemintang mengusung arak-arakan jenazah di bawah purnama yang mengambang di samudera alam
menjadi pelengkap hiasan cintaku yang tak terbalas
Aku, Ninox Sentulata Malaccencis yang cintanya tertolak
Seliar pendengaran, pandanganku berlari cemas
membelah langit, menerobos semak-semak kemawang, bilamana rembulan retak akan gema ratapan membahana dari liang kubur
Adakah jeda di antara ramai tetamu yang terbaring di dalam kuil-kuil tanah tanpa jeritan ampun
ataukah kedap hening pekat tanpa tangis pilu yang mewarnai beranda akhirat ?
selepas nyawa akan jasad, saat laskar alam barzakh mengayun palu disela tanya
Aku rindu,
rindu pada aroma mewangi yang merebak angin,
rindu pada suara-suara tenang mengucap syukur, rindu akan alunan yang melenakan, memesonakan mimpiku pada manusia yang menenteng lentera sebagai penerang kehidupan baru yang kuyakin gelap !
Teringat alkisah kakek moyangku pada zamannya
bermain di atas cahaya semerbak kesturi dari pusara-pusara para mujahid yang melukis lazuardi dari darah-darah kerinduan
menggiring irisan-irisan birahi yang terbantai kezuhudan dan tawadhu demi cinta berbatang raga
Aku menelan ludah pada nyinyir senyum tipis
berkelakar inginku yang menggelikan
menamparku dalam terjemahan alam pikiran manusia yang tak dapat ku eja
Aku hanya si burung hantu
bukan merindu rembulan
Posting Komentar