Inilah aku,
penyaksi kiamat tanpa kebangkitan ruh yang mengguncang simpuh bumi terhampar,mewarnai langit senja dengan cahaya duka merajam sukma dewi sahara hingga melarutkan jagad semesta dalam kelam kegetiran dan kepedihan
Hari itu, dihari Assyura
subuh terakhir saat kau reguk cawan syahadah yang tertuang di bawah terik mentari menyengat,
bersuguh kerinduan yang tertumpah di garis lazuardi pada Allah kekasihmu
kau jawab kehausan cinta bersama tetakan pedang yang mengiris kerongkongan
Senanar mataku terpejam pada gelinding kepala tanpa badan, terdengar tangis bayi dalam pelukan menahan sakit tersekat panah meregang nyawa
Inilah Muharram,
bunga pun layu menoreh pilu setiap kalbu
meningkahi pembantaian keluarga Nabi yang mulia dari sisa-sisa duka zahro yang diarak terantai bak tahanan atau budak
Wahai Hussain,
bibirmu memutih pucat lisan suci wujud Qur'ani,
aku dambakan darah merah yang mengalir di tubuhmu,
aku rindukan air yang mengalirkan cinta kepadamu,
aku sayangi pepohonan yang selalu berdiri tegak sebagai tanda penghormatan kepadamu
Masih tak jenak,
ratapanku bersambut akherat terang berderai air mata dan darah
direntang sayap bidadari yang membuka gerbang kerahiman Ilahi seiring penghuni surga menyambut hadirmu, menyanjung syahadahmu
10 Muharram.. Tahun 61 H
Posting Komentar