Widget

Sabtu, 23 April 2011

lupakan jangan dibuang sayang (III)

1/
[pusara]

adakah jeda diantara ramai tetamu
yang terbaring berkuil tanah
tanpa jeritan ampun

ataukah kedap hening pekat
yang mewarnai beranda akhirat
tanpa tangis pilu
selepas nyawa di batang raga
saat laskar alam barzakh
mengayun palu disela tanya


lupakan jangan dibuang sayang (II)

1
dan bilamana waktu diusia sepuh kincir hari
kukitari kitab hukum semesta berselubung permadani malam
dilandai sabana surau pertapa yang menyepi di tepi muara terawangan
bersuluk inang ranum purnama

berputik gemintang Sang Penawan hati


lupakan jangan dibuang sayang

1/    Wahai hati,
Andai seseorang harus mengatakan kepadamu
Bahwa jiwa musnah seperti tubuh
Maka jawablah,

bunga akan layu namun bijinya tetap hidup


2/    hidup tidak memberikan kesenangan yang lebih besar
daripada keberhasilan mengatasi rintangan

lentera hujan

sesaat, aku meretina renik hujan di sebelah dinding resah, gugur berdayang anak angin, meningkahi liuk tarian dahandahan, lalu menahta ranum mutiara langit di pucukpucuk daun.
; berpuri tumpulnya mata

kuretas lajunya yang menghantarku asing pada semarak bilahbilah tangis tanah, tersaput awan hitam sehelat cetusan tengadah tangantangan sedih berapal mantra belantara kering
; pecah di mukimnya

CABIK

cabik


aku, hanya mengais risalah yang kerap berlari terlecuti angin dari para penunggunya,
sekilas khilaf menutur kubangan lumpur di ladang swarga cinta keinsanan,
yang memecah rapuh rujiruji kerangka langit, legam berduka mengecam demi menyaksikan kiamat tanpa kebangkitan ruh.

ini bukan hukuman,  mungkin karma hanya akan memenjarakan diri di kamar sendiri.
pada episode lain, ia buang mimpi yang pulang, menjumpai lamunan di kota kenangan setahta palsu yang membusuk, berbayang wajah seribu rupa meragut kalbu, menagih janji lafaz waktu di kesesatan sepi dalam kajian aksara puisi lelaki pujaan, yang memasung rasa pada sarang musimnya.

di malam aku, menambat gerimis sebagai pelangi

biar saja bala menanam seganda bayang gerhana, dia gugur bulan dan matahari,
mendebu tualang angin, bersabung daun di rebana badai belia
dan kita adalah seorang aku yang akan kerap berlari mewartakan rindu belantara,
memberhalakan kedamaian

bilamana malam memusimkan gulitanya, mengabut kabut sebagai dibangkit
bercengkrama tabuh gerimis menjunjung titah langit
menjadikan pigura sepasang cetakan kaki
bersepakat senyum dengan Tuhan

di pasir kita menggambar Tuhan

"biar saja pasang dan ombak bercampur raungan bila lelah, dia reda gelombang"

seorang anak berlari membawa mimpi
ombak memaksanya berhenti tepat di depan matahari
sementara laut sore ini,
hanya menangkap kicau dan sisa angin yang memukul harapan

dalam percakapannya, dia mencari Tuhan di sana
"Tuhan, apakah ibu benarbenar ada ?
tidakkah dia hanya nama ?